Senin, 09 November 2009

Proses Pengolahan Sagu

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Sagu adalah tanaman asli Indonesia, dan merupakan sumber pangan yang paling tua bagi masyarakat di berbagai daerah. Sagu diduga berasal dari Maluku dan Irian; karena itu sagu mempunyai arti khusus sebagai pangan tradisional bagi penduduk setempat. Hingga saat ini belum ada data pasti yang mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Diduga, budidaya sagu di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat sama kunonya dengan pemanfaatan kurma di Mesopotamia.

Di Kawasan Timur Indonesia, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, seperti di Maluku, Papua, dan Sulawesi. Selain sebagai makanan pokok, sagu juga memiliki fungsi sosial ekonomi, bahkan memiliki fungsi adat dan budaya bagi masyarakat setempat.

Banyak dari para ahli memperkirakan bahwa pusat dan asal sagu (Metroxylon sp), khususnya Metroxylon rumphii Martius dan Metroxylon sagus Rottbol adalah Maluku dan Papua. Perkiraan ini berdasarkan penemuan hutan sagu yang luas di daerah tersebut, yang terdiri dari kedua spesies di atas dan jenis lain yang hampir mirip dengan species tersebut.

Tanaman sagu di Halmahera, Seram dan Buru menyebar ke arah utara sampai ke Mindanao; kemudian ke arah timur sampai ke Pulau Vanikoro; ke selatan sampai ke Kepulauan Aru, Pulau Damer dan Pulau Timor; dan ke arah barat sampai ke Pulau Sulawesi, terutama di pesisir timur. Selanjutnya menyebar ke Kalimantan, Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Sumatera, pulau-pulau sebelah barat Sumatera, Jawa, Malaysia dan Singapura.




BAB II

PEMBAHASAN


Proses Pembuatan Tepung Sagu

Pada dasarnya, tepung sagu dibuat dari empulur batang sagu. Tahapan proses pembuatan tepung sagu secara umum meliputi: penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokan atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan dan pengemasan.

Ditinjau dari cara dan alat yang digunakan, pembuatan tepung sagu yang dilakukan di daerah-daerah penghasil sagu di Indonesia saat ini dapat dikelompokkan atas cara tradisional, semi-mekanis dan mekanis.

a. Pembuatan Tepung Sagu secara Tradisional

Pada umumnya cara ini banyak dijumpai di Maluku, Papua, Sulawesi dan Kalimantan. Pengambilan tepung sagu secara tradisional umumnya diusahakan oleh penduduk setempat, dan digunakan sebagai bahan makanan pokok sehari-hari.

Penebangan pohon sagu dilakukan secara gotong-royong dengan menggunkan peralatan sederhana, seperti parang atau kampak. Selanjutnya, batang sagu dibersihkan dan dipotong-potong sepanjang 1- 2 meter; kemudian potongan-potongan ini dibelah dua. Empulur batang yang mengandung tepung dihancurkan dengan alat yang disebut nanni; dan pekerjaan menghancurkan empulur sagu ini disebut menokok. Penokokan empulur dikerjakan sedemikian rupa sehingga empulur cukup hancur dan pati mudah dipisahkan dari serat-serat empulur. Empulur yang telah ditokok akan berwarna kecoklatan bila disimpan di udara terbuka dalam waktu lebih dari sehari. Oleh karena itu, empulur yang ditokok dalam satu hari harus diatur sedemikian rupa agar pemisahan tepung dapat diselesaikan pada hari yang sama. Penokokan dapat dilanjutkan pada hari berikutnya sampai seluruh batang habis ditokok. Dengan cara tradisional ini, penokokan satu pohon sagu dapat diselesaikan dalam waktu 1 – 3 minggu.

Empulur hasil tokokan kemudian dipisahkan untuk dilarutkan dan disaring tepungnya di tempat tersendiri. Pelarutan tepung sagu dilakukan dengan cara peremasan dengan tangan, dan dibantu dengan penyiraman air. Di beberapa daerah, air yang digunakan berasal dari rawa-rawa yang ada di lokasi tersebut. Di Maluku, tempat pelarutan tepung sagu disebut sahani, yang terbuat dari pelepah sagu dan pada ujungnya diberi sabut kelapa sebagai penyaring.

Tepung sagu yang terlarut kemudian dialirkan dengan menggunakan kulit batang sagu yang telah diambil empulurnya. Tepung sagu ini kemudian diendapkan, dan dipisahkan dari airnya.

Tepung yang diperoleh dari cara tradisional ini masih basah, dan biasanya dikemas dalam anyaman daun sagu yang disebut tumang; di Luwu Sulawesi Selatan disebut balabba dan di Kendari disebut basung. Sagu yang sudah dikemas ini kemudian disimpan dalam jangka waktu tertentu sebagai persediaan pangan rumah tangga; dan sebagian lainnya dijual.

Karena sagu yang sudah dikemas ini masih basah, maka penyimpanan hanya dapat dilakukan selama beberapa hari. Biasanya, cendawan atau mikroba lainnya akan tumbuh, dan mengakibatkan tepung sagu berbau asam setelah beberapa hari penyimpanan.

b. Pembuatan Tepung Sagu secara Semi-mekanis

Pembuatan tepung sagu secara semi-mekanis pada prinsipnya sama dengan cara tradisional. Perbedaannya hanyalah pada penggunaan alat atau mesin pada sebagian proses pembuatan sagu dengan cara semi-mekanis ini. Misalnya, pada proses penghancuran empulur digunakan mesin pemarut; pada proses pelarutan tepung sagu digunakan alat berupa bak atau tangki yang dilengkapi dengan pengaduk mekanik; dan pada proses pemisahan tepung sagu digunakan saringan yang digerakkan dengan motor diesel.

Cara semi-mekanis ini banyak digunakan oleh penghasil sagu di daerah Luwu Sulawesi Selatan, dan daerah Riau, khususnya di daerah Selat Panjang.

Secara umum, cara semi-mekanis ini diawali dengan memotong-motong pohon sagu yang telah ditebang, dengan ukuran 0,5-1 meter. Potongan-potongan ini kemudian dikupas kulitnya, dibelah-belah, dan diparut. Selanjutnya, hasil parutan ditampung dalam bak kayu yang dilengkapi dengan pengaduk yang berputar secara mekanis. Pengadukan biasanya dilakukan dalam dua tahap, dengan tujuan agar seluruh tepung terlepas dari serat-seratnya. Selanjutnya campuran yang terdiri dari serat-serat, tepung dan air dialirkan ke saringan silinder berputar yang terdiri dari beberapa tingkat. Hasil penyaringan berupa bubur ditampung dalam bak-bak kayu untuk proses pengendapan tepung. Endapan tepung ini kemudian dicuci kembali dalam bak atau tangki yang dilengkapi pengaduk, dan diendapkan lebih lanjut. Tepung sagu basah yang diperoleh kemudian dijemur dan digiling dengan alat penggiling (grinder). Selanjutnya, tepung yang sudah digiling dimasukkan ke dalam karung-karung goni, dan siap untuk dipasarkan.


c. Pembuatan Tepung Sagu secara Mekanis

Pada pembuatan tepung sagu secara mekanis ini, urut-urutan prosesnya sama dengan cara semi-mekanis. Akan tetapi, pembuatan tepung sagu dengan cara mekanis ini dilakukan melalui suatu sistem yang kontinyu, dan biasanya dalam bentuk sebuah pabrik pengolahan. Untuk mempercepat prosesnya pada pabrik-pabrik yang sudah modern, seperti di Sarawak Malaysia, proses pengendapan tepung dilakukan dengan menggunakan alat centrifuge atau spinner; dan pengeringannya dilakukan dengan menggunakan alat pengering buatan. Produk tepung sagu yang dihasilkan dari pabrik-pabrik pengolahan ini adalah berupa tepung kering, sehingga memiliki daya simpan yang lebih lama.


Ciri-ciri dan Sifat Tepung Sagu

Tepung sagu merupakan salah satu sumber kalori; dan juga mengandung beberapa komponen lain, seperti mineral fosfor. Jumlah kalori dan kandungan kimia dari setiap 100 gram tepung sagu. Komponen yang paling dominan dalam tepung sagu adalah pati. Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Pati ini berupa butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka ragam sesuai dengan sumbernya, seperti telihat pada Gambar 4. Pati sagu berbentuk elips lonjong, dan berukuran relatif lebih besar dari pati serealia.



Pemanfaatan Tepung Sagu

Bagi sebagian masyarakat Indonesia seperti penduduk di Papua dan Maluku, dan sebagian Sulawesi seperti Kendari dan Luwu/Palopo, sagu merupakan pangan utama sejak zaman dahulu. Demikian pula, pemanfaatan sagu untuk pembuatan makanan tradisional sudah lama dikenal oleh penduduk di daerah-daerah penghasil sagu baik di Indonesia maupun di Papua Nugini dan Malaysia. Beberapa jenis produk makanan tradisional dari sagu, antara lain adalah papeda, sagu lempeng, buburnee, sinoli, bagea, sinonggi dan sebagainya.

Tepung sagu juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan makanan yang lebih moderen. Jenis-jenis makanan yang terbuat dari tepung-tepungan pada umumnya berbahan baku tepung terigu, tapioka atau tepung beras atau bahan-bahan lain yang sejenis. Jenis-jenis makanan seperti itu sudah dikenal secara luas oleh masyarakat, bersifat lebih komersial dan diproduksi dengan alat semi-mekanis atau mekanis. Beberapa contohnya adalah roti, biskuit, mie, sohun, kerupuk, bihun dan sebagainya.

Seperti halnya dengan jenis karbohidrat lainnya, tepung sagu juga dapat dimanfaatkan dan digunakan sebagai bahan utama maupun sebagai bahan tambahan dalam berbagai jenis industri, seperti industri pangan, industri makanan ternak, industri kertas, industri perekat, industri kosmetika, industri kimia, dan industri energi. Dengan demikian pemanfaatan dan pendayagunaan sagu dapat menunjang berbagai macam industri, baik industri kecil, menengah maupun industri teknologi tinggi.

Dalam pemanfaatannya dalam industri-industri tersebut, tepung sagu dapat langsung digunakan tanpa harus dimodifikasi terlebih dahulu. Akan tetapi dalam beberapa hal, tepung sagu perlu dimodifikasi terlebih dahulu sebelum dapat diaplikasikan. Modifikasi ini dapat dilakukan secara fisik maupun kimia, dan menghasilkan berbagai jenis produk, seperti dekstrin, glukosa, fruktosa, etanol, asam-asam organik, protein sel tunggal, dan senyawa kimia lainnya. Produk-produk ini kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku maupun pendukung dalam industri-industri tersebut.

Permasalahan dalam Pengembangan Agroindustri Tepung Sagu


Dalam pengembangan agroindustri, pada umumnya memiliki permasalahan yang sama yaitu bahan baku, dimana sifat produk pertanian yang cepat busuk, berukuran besar juga bersifat musiman. Demikian pula permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri tepung sagu menjadi mie sagu. Dalam pengembangan agroindustri tepung sagu menjadi mie sagu, bahan baku sagu tidak begitu bermasalah, karena sagu merupakan salah satu komoditi khas Sulawesi Tenggara dan harganya pun tergolong rendah dibandingkan bahan baku lain yang merupakan sumber karbohidrat. Namun yang menjadi permasalahan lain setelah sanitasi selama pengolahan dan permodalan yaitu pasar. Dimana, produk dari sagu ini tergolong baru dimasyarakat dan mie yang dihasilkan memiliki aroma khas yang kurang disukai. Hal tersebut merupakan kelemahan dari pengembangan agroindustri tepung sagu khususnya untuk pembuatan mie sagu

UpayaPenanggulangan
Permasalahan yang dihadapi dalam rangka pengembangan agroindustri pengolahan tepung sagu menjadi mie sagu dapat dilakukan denga beberapa upaya penanggulangan sesuai dengan permasalah yang dihadapi.

Penggunaan air bersih dan sanitasi selama proses pengolahan memberikan mutu mie yang lebih baik. Ini ditandai dengan hilangnya bahan yang kurang sedap. Hasil lainnya, penurunan bahan tambahan dapat memperbaiki hasil mie sagu dengan proses yang higienis.
Masalah permodalan dapat diatasi dengan melakukan pinjaman. Dengan membenahi manajemen perusahaan, dikarenakan pihak perbankkan mennsyaratkan 5C (capital, capasity, colateral, carakter dan condition) untuk memberikan pinjaman kepada perusahaan.
Untuk memperkenalkan produk baru kepada masyarakat, dibutuhkan analisis pasar sehingga dapat diketahui seberapa besar kekuatan produk yang dipasarkan dibandingkan dengan produk lain yang sejenis (mie yang terbuat dari bahan baku gandum). Untuk itu, diperlukan kerjasama yang dinergis antara pengussaha, peneliti lokal dan pemerintah dalam mensosialisasikan produk tersebut sebagai salah satu produk unggulan daerah

Analisis Kelayakan
a. Analisis Teknis
1) Lokasi Perusahaan
Penentuan lokasi yang tepat akan meminimumkan beban biaya, baik biaya investasi maupun biaya eksploitasi. Lokasi usaha ini direncanakan terletak di Kabupaten Konawe dengan memperhatikan beberapa variabel yaitu :
Ketersediaan bahan baku
Bahan baku merupakan komponen yang amat penting dari keseluruhan proses operasi perusahaan. Variabel ini merupakan variabel dominan dalam penentuan lokasi pabrik.
Suhubuangan dengan bahan mentah, beberapa hal yang perlu diperhatikan :
Jumlah kebutuhan bahan bakuû
Kelayakan harga bahan baku, baik sekarang maupun masa datangû
Kapasitas, kualitas dengan kontinuitas sumber bahan bakuû
Biaya pengangkutanû
Letak pasar yang dituju
Letak pasar sebaiknya dekat dengan lokasi pabrik sehingga dapat meminimumkan biaya pengangkutan, juga penyimpanan.
Selian itu, hal yang perlu diperhatikan yaitu daya beli konsumen, pesaing dan beberapa data tentang analisa aspek pasar.
Tenaga listrik dan air
Ketersediaan listrik dan air yang cukup sangat diperlukan untuk kelncaran proses produksi
Suplly tenaga kerja
Tersediannya tenaga kerja, baik tenaga kerja terdidik maupun terlatih akan berpengaruh terhadap biaya produksi yang ditanggung perusahaan
Fasilitas transportasi
Fasilitas transportasi ini berkaitan erat dengan pertimbangan bahan mentah dan pertimbangan pasar. Jika lokasi mendekati sumber bahan mentah, maka fasilitas transportasi terutama diperhitungkan dalam kaitannya dengan ongkos transportasi menuju pasar, dari sumber bahan mentah ke lokasi pabrik, demikian pula sebaliknya.
2) Luas Produksi
Luas produksi adalah jumlah produk yang seharusnya diproduksi untuk mencapai keuntungan yang optimal
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan luas produksi ini adalah
Batasan permintaan yang telah diketahui terlebih dahulu dalam perhitungan market share
Tersediannya kapasitas mesin-mesin
Jumlah dan kemampuan tenaga kerja pengelola proses produksi
Kemampuan finansial dan manajemen
Kemungkinan adanya perubahan teknologi produksi dimasa yang akan datang
b. Analisis Ekonomi
1). Biaya Investasi
No Uraian Jlm Kebutuhan Harga Satuan (Rp.000) Jumlah (Rp. 000) Masa Pakai (Tahun) Nilai Penyusutan (Rp. 000)
1 Bangunan 100 m2 10 1,000 10 100
2 Mesin
- Penggiling 1 500 500 3 167
- Mixer 1 300 300 2 150
3 Peralatan
- Baskom 5 50 250 1 250
- Pisau 3 5 15 1 15
- Panci 5 250 1,250 1 1,250
- Kompor 3 500 1,500 1 1,500
- Meja 2 400 800 3 267
Total biaya investasi 5,615 3,698

2). Biaya Operasional
a). Biaya Tetap
No Uraian Biaya Tahunan (Rp. 000)
I II III IV V
1 Penyusutan investasi 3,698 3,698 3,698 3,698 3,698
2 Perawatan 3% investasi 168 168 168 168 168
3 Izin Usaha 0.5% investasi 28 28 28 28 28
4 Gaji dan Honor
- 5 orang karyawan 24,000 24,000 24,000 24,000 24,000
Total biaya tetap 3,919 3,919 3,919 3,919 3,919

b). Biaya Tidak Tetap
No Uraian Biaya Tahunan (Rp. 000)
I II III IV V
1 Bahan baku (sagu) 7,200 9,000 10,800 12,000 15,000
2 Bahan penunjang 1,000 1,200 1,500 1,700 2,000
3 Listrik + Air 1,000 1,200 1,500 1,700 2,000
4 Bahan bakar 3,600 3,840 4,080 4,320 4,560
5 Biaya transportasi 300 350 500 700 750
Total biaya tidak tetap 13,100 15,590 18,380 20,420 24,310
3). Pendapatan
No Uraian Pendapatan Tahunan (Rp. 000)
I II III IV V
1 Penjualan Rp. 2500/kg 37,800 44,625 56,700 63,000 78,750
2 Biaya tetap 3,919 3,919 3,919 3,919 3,919
3 Biaya tidak tetap 13,100 15,590 18,380 20,420 24,310
4 Pendapatan sebelum pajak 20,781 25,116 34,401 38,661 50,521
5 Pajak 10% 2,078 2,512 3,440 3,866 5,052
6 Pendapatan bersih 18,703 22,605 30,961 34,795 45,469

Kelayakan Finansial
Kriteria Kelayakan Nilai Kriteria Keterangan
NPV + (i = 12.5%)
NPV – (i = 12.5%)
NBCR
GBCR
IRR (%)
Payback period
BEP Penjualan
BEP Harga
BEP Produksi 10.893
5.965
1.83
1.096
41.7
2 tahun, 2 bulan
5.997
1.13
6.81 Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak

Analisis Pasar

Dewasa ini, banyak perusahaan bermunculan dan karena persaingan antara mereka juga semakin tajam. Pada keadaan yang demikian, aspek pasar menempati kedudukan utama dalam pertimbangan investor dan pendekatan yang digunakan oleh investor dalam memperebutkan konsumen mendasarkan diri pada ”integrated marketing concept”
Pada keadaan yang disebut terakhir, nampak juga adanya kebebasan pembeli potensial untuk melakukan pilihan terhadap produk yang diperlukan. Pada situasi demikian, peran analisa aspek pasar dalam pendirian maupun perluasan usaha pada studi kelayakan usaha merupakan variabel pertama dan utama untuk mendapatkan perhatian.




BAB III

PENUTUP


Kesimpulan

Dari beberapa hasil analisis kelayakan dapat diketahui bahwa usaha tepung sagu layak untuk dikembangkan dimana dari aspek teknis, memiliki ketersediaan lahan dan bahan baku yang melimpah di lokasi usaha, dari aspek finansial agroindustri tepung sagu memiliki nilai NPV yang positif sebesar Rp. 10.893.000,- pada tingkat diskonto 12.5%, IRR diatas suku bunga komersial sebesar 41.7 %, NBCR dan GBCR di atas satu (1.83 dan 1.096) dan payback periode 2 tahun 2 bulan, serta analisis pasar menunjukan peluang yang besar menggantikan tepung dari bahan gandum yang masih diimpor dari luar negeri.